Mayoritas penganut agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Muslim beriman pada hari kiamat serta surga dan neraka.
Tidak seperti penganut agama Buddha dan Hindu, yang percaya bahwa orang-orang mati akan bereinkarnasi kepada kehidupan yang lebih baik atau lebih buruk tergantung pada amalnya di kehidupan sebelumnya, umat agama samawi percaya bahwa hanya ada dua kehidupan. Yang pertama, kehidupan di dunia, dan yang kedua, kehidupan setelah kematian dimana seseorang dibangkitkan dari kuburnya dan diadili Allah pada hari kiamat berdasarkan amalannya.
Rahmat vs. Azab
Jadi, pada umumnya, manusia percaya tentang adanya rahmat Tuhan dan azab Tuhan dalam berbagai agama, tapi pemahaman setiap orang berbeda-beda.
Dalam Islam, sama seperti Yudaisme dan Kekristenan, Tuhan bersifat Maha Adil. Kasih sayang-Nya melebihi murka-Nya. Tapi mungkin ada yang bertanya, “Kenapa Tuhan memberikan azab kepada manusia padahal dia adalah Tuhan yang Penyayang?”
Jawabannya tergantung apakah kita beriman pada Allah atau tidak. Jika kita beriman pada-Nya dan kita meyakini bahwa Dia Maha Adil, maka Dia pasti menuntun kita ke jalan yang lurus. Itulah mengapa Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para nabi, yang kemudian disampaikan kepada umat manusia.
Di dalam Al-Qur’an, kita bisa melihat bukti-bukti bahwa Allah itu Maha Penyayang. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai ayat dimana Dia memberikan petunjuk-Nya kepada manusia, sehingga manusia selalu berada di jalan yang lurus.
Jadi, untuk orang beriman, rasa takut kepada Tuhan berfungsi untuk memperkuat keimanannya. Orang yang beriman tahu bahwa dia harus mempunyai rasa cinta, takut, dan harapan pada-Nya.
Cinta dan harapan adalah dua hal yang panjang untuk dibahas. Jadi, karena yang dibahas kali ini adalah masalah neraka dan keadilan Sang Pencipta, kita fokus pada sikap seorang Muslim dan rasa takut kepada Allah, yang berguna untuk menyelamatkannya dari neraka.
Cinta dan Harapan Orang Beriman
Orang-orang beriman tahu bahwa ada rahmat dan azab, dan seseorang hanya mendapatkan salah satu darinya (entah itu rahmat atau azab). Jadi, dia berusaha untuk menjauhkan dirinya dari azab Tuhan dan mendekatkan dirinya menuju rahmat dan kasih sayang-Nya, dengan demikian dia mendapatkan kepuasan rohani yang lebih tinggi.
Orang yang beriman mematuhi batasan-batasan Allah, menjauhi larangan-Nya, dan mencoba untuk mencari ridha Allah dengan sebaik mungkin. Dia tahu bahwa hal ini akan menyelamatkannya dari azab Allah di akhirat.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274)
Seperti yang dijelaskan dalam Quran, orang-orang yang beriman dan dengan tulus mengakui kebesaran Allah akan merasakan kekaguman batin terhadap kebesaran dan keagungan Allah. Dengan demikian, kekuatan Allah yang Maha Besar akan menciptakan rasa takut dalam diri orang beriman yang didasari rasa kekaguman kepada-Nya. Sebagai hasil dari ketaatan dan ketulusannya, Allah akan memberikan rahmat kepada mereka berupa ketenangan batin di dunia ini, dan di akhirat berupa surga.
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.” (QS. Ar-Rahman : 46)
Tapi, mungkin muncul pertanyaan, bagaimana caranya mendapatkan ridho Allah dan menjauhi murka-Nya? Jawabannya sangat jelas. Kita harus mempunyai pengetahuan tentang Sang Pencipta dengan memahami firman-Nya yang diabadikan dalam Quran.
… إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ …
“… sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu…” (35: 28)
Orang-orang yang seperti itu akan memahami bahwa keadilan Allah tidak tertandingi. Karena itulah mereka mengimani semua yang difirmankan Allah.
“[Orang beriman adalah] orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya. Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya)” (70: 26-8)
Begitulah keadilan Allah dan orang-orang beriman tidak bergantung kepada siapapun kecuali kepada Allah dengan rasa takut dan pengharapan.
“… mereka selalu berdo’a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap.” (32:16)
Mengenai masalah ini, Nabi Muhammad s.a.w bersabda:
“Ketika hati seorang mukmin dipenuhi dengan harapan dan takut, Allah s.w.t akan memenuhi harapannya dan menyelamatkannya dari apa yang dia takuti. ” (Ibn Majah)
Keadilan Allah
Bagaimana nasib orang-orang yang tidak percaya pada hari kiamat, bagaimana ketika mereka bertemu dengan Tuhan mereka dan menyaksikan surga dan neraka?
“Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku” (39: 15-6)
Jadi, adilkah Allah apabila Dia membiarkan manusia begitu saja, melakukan kemaksiatan dan apapun yang mereka mau tanpa adanya pahala atau azab di dunia ini dan di akhirat? Allah memperingatkan:
“Kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (75:34-6)
Mungkin kisah dibawah ini bisa dijadikan contohnya. Ini kisah nyata tentang seorang gadis beragama Islam.
Ceritanya begini, di sebuah negara yang melaksanakan hukum Islam, kadang-kadang pihak pemerintah menjalankan pemeriksaan atau razia mendadak di tempat-tempat perbelanjaan dan terkadang di tempat umum yang ramai lainnya, untuk memastikan para pegawainya menutup aurat.
Mereka yang ketahuan melanggar akan diberi teguran bagi kesalahan pertama, dan didenda jika didapati masih tidak mau mematuhi peraturan yang ditetapkan.
Lazimnya dalam setiap razia tersebut, seorang ustadz ditugaskan bersama dengan para petugas yang merazia. Tugasnya adalah untuk menyampaikan nasihat, karena hukuman dan denda semata-mata tidak mampu memberi kesan yang mendalam.
Dalam satu insiden, ketika operasi razia yang dilaksanakan sekitar tahun 2005, seorang gadis yang bekerja di salah satu toko di Pasaraya Billion telah didapati melakukan kesalahan tidak menutup aurat. Maka dia pun kena denda.
Setelah surat diberikan oleh pegawai, ustadz ini pun memberi gadis itu nasihat, “Setelah ini saya harap saudari insaf dan dapat mematuhi peraturan. Peraturan ini bukan semata-mata peraturan majelis perbandaran, tapi menutup aurat ini termasuk perintah Allah.
Ringkasnya, kalau menaati segala perintah-Nya, pasti Dia akan membalas berupa nikmat di surga. Kalau durhaka tak mau patuhi perintah-Nya, takutnya nanti kamu tidak sempat bertaubat dan mendapat azab di neraka. Allah itu Maha Penyayang, Dia sendiri tidak mau kita masuk ke dalam neraka…”
Gadis tersebut yang dari awal berdiam diri dan hanya mendengarkan, tiba-tiba membentak, “KALAU TUHAN ITU MAHA PENYAYANG, KENAPA DIA MENCIPTAKAN NERAKA? Kenapa tidak menyediakan surga saja buat mahluk-mahluk-Nya? Seperti itukah Tuhan yang disebut Maha Penyayang?”
Mungkin dari tadi telinga gadis ini sudah ‘panas’, tak tahan dengar nasihat sang ustadz. Sudah hatinya panas dinasihati, kena denda pula.
Ustadz itu sempat kaget, “Bahaya nih. Kalau dibiarkan bisa rusak aqidahnya.”
Setelah gadis itu marah, ustadz pun menjawab: “Adikku, kalau Tuhan tidak menciptakan neraka, saya tidak mau jadi ustadz. Memangnya kamu pikir gaji saya sekarang besar? Lebih baik saya jadi bandar judi, atau bandar narkoba. Hidup di dunia bisa bersenang-senang, dan setelah mati pun tidak akan risau sebab sudah dijamin masuk surga.
Mungkin kamu pun akan saya culik dan jual jadi wanita malam. Kalau kamu melarikan diri, akan saya bunuh saja. Jika neraka tidak ada, saya tidak akan takut berbuat begitu, karena saya tidak akan mendapatkan azab dari Allah.
Namun tidak begitu adikku, nanti mudah-mudahan kita berdua bisa bertemu di surga. Bukankah Tuhan itu Maha Penyayang?”
Gadis itu terkejut mendengar sang ustadz berkata seperti itu? Dia terheran-heran dan wajahnya kebingungan.
Ustadz itu pun menjelaskan, “Masalah seperti tadi akan berlaku kalau Tuhan hanya menyediakan surga. Orang baik dan orang jahat, pembunuh dan perampok, semuanya masuk surga. Maka untuk apa jadi orang baik? Jadi orang jahat dan bisa sesukanya berbuat maksiat lebih menyenangkan bukan? Manusia tak perlu lagi diuji sebab semua orang akan ‘lulus’ dengan cuma-cuma. Pembunuh akan bertemu orang yang dibunuh dalam surga. Pencuri akan bertemu lagi dengan pemilik harta yang dicurinya dalam surga, setelah itu pencuri itu bisa mencuri lagi kalau dia mau. Tidak ada yang akan menerima hukuman. Apakah Tuhan seperti ini yang kita mau? Apakah kamu rasa Tuhan yang seperti itu bertindak adil?” tanya ustadz.
“Ya tidak adil kalau seperti itu. Orang jahat tidak bisa terlepas dari kesalahannya seperti itu saja.” Gerutu si gadis.
Sang ustadz tersenyum dan bertanya lagi: “Bila Tuhan yang seperti itu kamu katakan tidak adil, apakah Tuhan seperti itu dianggap baik?” Ditanya seperti itu, gadis itu hanya bisa terdiam.
Ustadz pun mengakhiri kata-katanya: “Adik, saya memberi nasihat ini karena kamu sebagai rasa peduli sesama Muslim. Allah itu Maha Penyayang, tapi Dia juga Maha Adil. Itulah sebabnya neraka itu diperlukan. Neraka digunakan untuk menghukum hamba-hamba-Nya yang durhaka, yang mendzalimi diri sendiri dan juga orang lain.
Saya rasa kamu sudah paham sekarang. Kita sedang diuji di dunia ini, siapakah diantara kita yang baik amalnya. Jasad kita bahkan segala-galanya milik Allah, maka bukan HAK kita untuk berpakaian sesuka hati kita. Ingatlah; semuanya dipinjamkan oleh-Nya, sebagai amanah dan ujian. Semoga kita dapat bersabar dalam mentaati segala perintahNya, untuk kebaikan diri kita juga.”
Allah Yang Maha Adil juga telah memberikan peringatan tegas di sepanjang zaman melalui nabi-nabi-Nya kepada mereka yang kafir kepada-Nya. Dia dengan jelas memberikan janji berupa surga bagi mereka yang beriman kepada-Nya dan neraka bagi mereka yang kafir kepada-Nya selagi mereka hidup di muka bumi. Mereka tidak percaya kepada tanda-tanda-Nya, peringatan dan firman-Nya. Allah berfirman kepada orang-orang kafir:
“Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar (telah datang)”. Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. Dikatakan (kepada mereka): “Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya” Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (39: 71-2)
Apakah orang-orang kafir itu pernah memikirkan bahwa azab yang menanti mereka amat pedih? Begitu pedihnya sehingga mereka lebih memilih kematian daripada mernerima azab.
“Mereka (penduduk neraka) berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)” (43:77)
Inilah alasan mengapa orang-orang beriman takut kepada azab neraka dan berdo’a kepada Allah agar melindungi mereka dari siksaan semacam itu:
“Hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang adalah] orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal” (25: 65)
Rasulullah memberikan kabar baik kepada mereka yang beriman kepada Allah, tapi pernah membuat Allah murka karena dosa-dosa yang mereka lakukan. Rasulullah bersabda bahwa mereka pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam surga.
Dia bersabda:“Semua orang meskipun iman dalam hatinya hanya sebesar zarrah akan dikeluarkan dari neraka.” (Muslim, 91)
Abu Said berkata: “Siapapun yang ragu-ragu (berkenaan dengan masalah ini) haruslah membaca ayat berikut: {Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (4:40)
Namun, bagi mereka yang kafir terhadap peringatan Allah, yang mencela keberadaan surga, neraka, dan hari kiamat, baik dari umat zaman sekarang maupun dari umat terdahulu, Allah memberitahu tentang apa yang terjadi kepada mereka:
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan….” (30: 9)
“… apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta?” (28:78)
“Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap di pandang mata!” (19:74)
Sebagai penutup, mereka yang mengatakan bahwa neraka seharusnya tidak ada jika Tuhan itu Maha Adil, dan tidak peduli dengan peringatan dari Tuhan mereka, sesungguhnya mereka akan mengetahui betapa adilnya Tuhan, tapi tentu sudah terlambat bagi mereka untuk berubah ketika mereka sudah menemui ajal dan dibangkitkan kembali oleh Tuhan mereka. Orang-orang seperti itu dijelaskan Quran sebagai berikut:
“Apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? dan kamu tidak akan mendapat seorang pelindungpun bagi kamu, atau apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu Dia meniupkan atas kamu angin taupan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan kekafiranmu. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun dalam hal ini terhadap (siksaan) Kami.” (17: 68-9)
Lebih jauh Dia memperingatkan:
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (63: 10-11)
Mari kita berlomba-lomba untuk menjadi orang-orang saleh yang difirmankan Allah dalam ayat di atas. Siapakah orang-orang itu?
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (24: 36-7)
Pengasih Dan PenyayangNya Allah
Dalam salah satu Hadist Qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman:“Aku adalah Ar-Rahman, Aku menciptakan Rahim, Ku ambilkan untuknya nama yang berakar dari nama Ku. Siapa yang menyambungnya (SilaturRahim) akan Ku sambung (Rahmat Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Ku putuskan (Rahmat Ku baginya). (HR. Abu Daud dan Attirmizi Melalui Abdurrahman Bin ‘Áuf).

Wednesday, 19 July 2017
Allah Maha Pengampun,Pengasih Lagi Maha Penyayang
Betapa Pengampun,Pemurah,Pengasih dan PenyayangNYA Allah terhadap hamba-hambanya sehinggakan DIA tidak peduli berapa banyak dosa-dosa yang telah hamba-hambaNYA lakukan jika mereka bertaubat DIA pasti akan ampunkan..
Firman Allah dalam surah al-Zumar ayat 53: (maksudnya),Katakanlah: Wahai hamba- hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan maksiat),janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,kerana sesungguhnya Allah mengampunkan segala dosa;sesungguhnya Dialah jua Yang Maha Pengampun,lagi Maha Mengasihani.
Al-Imam Ibn Kathir (meninggal 774H) ketika mentafsirkan ayat ini menyebut: “Ayat yang mulia ini adalah panggilan untuk semua pembuat dosa dari kalangan yang kufur dan selain mereka agar bertaubat dan kembali kepada Allah.Ayat ini juga adalah pemberitahuan Allah Yang Maha Berkat Lagi Maha Tinggi bahawa Dia mengampunkan segala dosa untuk sesiapa yang bertaubat dan meninggalkannya,walau bagaimana besar dan banyak sekalipun dosa tersebut.Sekalipun bagaikan buih di lautan” (Tafsir al-Quran al-‘Azim, 4/74, Beirut: Mussasah al-Rayyan)
Disebutkan di dalam sebuah hadis Qudsi,Allah berfirman: Wahai anak-anak Adam, selagi mana engkau memohon dan mengharapkan dari-Ku,Aku ampunkan engkau walau apapun dosamu,Aku tidak peduli.Wahai anak-anak Adam,jika dosamu sampai ke puncak langit,lalu engkau pohon keampunan dari-Ku,Aku ampunkan engkau,aku tidak peduli. Wahai anak-anak Adam,engkau jika datang kepada-Ku dengan dosa yang hampir memenuhi bumi,namun engkau menemui-Ku tanpa mensyirikkan Daku dengan sesuatu, nescaya aku datang kepadamu dengan penuh keampunan (Riwayat al-Tirmizi,dinilai hasan oleh al-Albani)
Firman Allah dalam surah al-Zumar ayat 53: (maksudnya),Katakanlah: Wahai hamba- hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan maksiat),janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,kerana sesungguhnya Allah mengampunkan segala dosa;sesungguhnya Dialah jua Yang Maha Pengampun,lagi Maha Mengasihani.
Al-Imam Ibn Kathir (meninggal 774H) ketika mentafsirkan ayat ini menyebut: “Ayat yang mulia ini adalah panggilan untuk semua pembuat dosa dari kalangan yang kufur dan selain mereka agar bertaubat dan kembali kepada Allah.Ayat ini juga adalah pemberitahuan Allah Yang Maha Berkat Lagi Maha Tinggi bahawa Dia mengampunkan segala dosa untuk sesiapa yang bertaubat dan meninggalkannya,walau bagaimana besar dan banyak sekalipun dosa tersebut.Sekalipun bagaikan buih di lautan” (Tafsir al-Quran al-‘Azim, 4/74, Beirut: Mussasah al-Rayyan)
Disebutkan di dalam sebuah hadis Qudsi,Allah berfirman: Wahai anak-anak Adam, selagi mana engkau memohon dan mengharapkan dari-Ku,Aku ampunkan engkau walau apapun dosamu,Aku tidak peduli.Wahai anak-anak Adam,jika dosamu sampai ke puncak langit,lalu engkau pohon keampunan dari-Ku,Aku ampunkan engkau,aku tidak peduli. Wahai anak-anak Adam,engkau jika datang kepada-Ku dengan dosa yang hampir memenuhi bumi,namun engkau menemui-Ku tanpa mensyirikkan Daku dengan sesuatu, nescaya aku datang kepadamu dengan penuh keampunan (Riwayat al-Tirmizi,dinilai hasan oleh al-Albani)
Tuhan Kita: Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Kepentingan Mengenali Allah
Iman kepada Allah adalah inti ajaran Islam.
Syariat Islam boleh berubah-ubah, tapi ajaran yang satu ini tidak berubah sejak dari nabi Adam hingga ke nabi Muhammad dan harus kekal sedemikian sehingga hari Kiamat.
Inti pada iman kepada Allah pula ialah mengenaliNya (makrifatullah) dengan betul.
Sebab itulah ulama berkata, dalam hal ini, “yang pertama dalam agama ialah kenal Allah”.
Manusia memang boleh mencapai iman pada Allah melalui akal fikirannya, jika digunakan dengan betul.
Namun, manusia tidak akan mampu kenal Allah dengan sempurna hanya dengan bergantung pada akalnya sahaja kerana akal manusia terbatas.
Atas sebab itulah, Allah taala tetap mengutus para nabi dan mewahyukan kitab-kitab suci bagi memandu manusia kepada iman yang tepat, iaitu mengenaliNya, walau pun Dia telah memberi akal kepada setiap manusia.
Oleh itu, cara terbaik untuk kenal Allah taala ialah melalui sumber dariNya sendiri kerana Dia lebih tahu tentang diriNya berbanding dari sumber lain atau akal manusia.
Dalam hal ini, sumbernya ialah Al-Quran, kitab yang diturunkan oleh Allah taala untuk memandu manusia hingga akhir zaman.
Bagaimanakah Allah taala memperkenalkan dirinya dalam Al-Quran?
Pengasih dan Penyayang Dahulu
Kita tidak perlu membaca Al-Quran keseluruhannya untuk mengenali Allah taala secara umum.
Bahkan kita tidak perlu membuka lembaran Al-Quran jauh-jauh untuk tujuan ini kerana Allah taala memperkenalkan Dia kepada kita di awal-awal Al-Quran lagi.
Ia terdapat di mukasurat pertama Al-Quran.
Lebih tepat lagi ialah di ayat pertama Al-Quran iaitu, “bismillahir rahmanir rahim (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)” dari surah Al-Fatihah yang dibaca pada setiap rakaat solat dan sepatutnya di hafal oleh setiap Muslim.
Hakikat bahawa ayat pertama dari Al-Quran menyebut nama Allah taala adalah dalil kepentingan iman padaNya mendahului segala yang lain dari ajaran Islam.
Selain itu ayat ini juga cuba memperkenalkan Allah taala secara umum kepada manusia sekalian dan pembaca Al-Quran khususnya.
Bagaimanakah Allah taala memperkenalkan dirinya dalam ayat ini?
Bagaimanakah sebenarnya Allah taala mahu dikenali oleh hamba-hambaNya?
Ayat ini memperkenalkan Allah taala sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Ertinya, Allah taala lebih suka dikenali oleh hamba-hambaNya sedemikian.
Hakikat ini menjadi lebih terserlah apabila kita fikirkan bahawa Allah taala mempunyai 99 nama, yang antaranya mensifatkan Allah taala sebagai Al-Muntaqim (Maha Pembalas), Al-Jabbar (Maha Perkasa), Al-Muzil (Maha Menghinakan), Al-Mutakabbir (Maha Gemilang) dan Al-Qahhar (Maha Gagah) – sifat-sifat yang lebih menonjolkan kegagahan, kuasa dan kebesarannya – tapi Dia utamakan sifat Maha Pengasih dan Penyayang dari yang lain-lain.
Ia juga bermakna bahawa Allah taala lebih suka berhubungan dengan hambaNya atas dasar cinta dan kasih sayang, bukan atas dasar takut dan ancaman.
Allah taala lebih mahu Dia disukai dan disayangi, bukan digeruni atau ditakuti.
Kefahaman seperti dapat disokong oleh pelbagai ayat-ayat Al-Quran yang lain.
Antaranya ialah firman Allah taala, “Kabarkanlah kepada hamba-hambaKu, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa sesungguhnya azabKu adalah azab yang sangat pedih.” (Al-Hijr:49-50)
Dalam ayat ini Allah taala menyuruh nabi s.a.w memberitahu umatNya bahawa Dia bersifat Maha Pengampun dan Pengasih sebelum berbicara tentang azabnya.
Renungkan juga bahawa Allah taala tidak mensifat dirinya sebagai pengazab, berbanding dengan sifat sebelumnya, tapi hanya memberitahu bahawa Dia mempunyai azab yang pedih.
Lihat juga firman Allah taala, “….SiksaKu akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmatKu meliputi segala sesuatu… ” (Al-A`araf:156)
Walaupun ayat ini Allah taala mendahulu pernyataan tentang azabnya tapi ia tetap menonjolkan rahmat (kasih)Nya melebihi dari azab.
Apabila Allah taala berbicara tentang azab, Dia nyatakan bahawa azab hanya menimpa sesiapa yang Dia kehendaki sahaja, sedangkan rahmatNya pula dikurniakan kepada segala sesuatu.
Dalam ayat lain, Allah taala mewajibkan atas diriNya sendiri rahmat (kasih) (Al-An`am:12 dan 54) dan bukan azab, dendam, penghukum atau yang seumpamanya.
Imam Al-Tabari dan Al-Qurtubi, ketika menghuraikan ayat ini, menyebutkan salah satu tanda rahmat Allah taala kepada hamba-hambaNya ialah tidak bersegera dalam menghukum atau menurunkan azab ke atas mereka.
Sebaliknya, Allah taala sentiasa menangguhkannya bagi memberi peluang yang luas untuk kembali ke pangkuan jalan.
Sebahagian ilmuwan Islam pula berpendapat bahawa ayat dari surah Al-An`am ini menetapkan bahawa kasih bukan hanya perbuatan Tuhan tapi ia merupakan inti pati hakikat ketuhanan itu sendiri.
Ayat ini menjadikan kasih itu sesuatu yang istimewa berbanding sifat dan perbuatan Tuhan yang lain.
Terdapat pelbagai hadis yang boleh dijadikan sokongan.
Antaranya ialah:
• “Allah taala telah berfirman ‘Sesungguhnya kasih sayangKu mengatasi kemarahanKu.” (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
• “Akan datang di hari Kiamat nanti, manusia-manusia dengan dosa seperti gunung-gunung. Allah mengampunkannya bagi mereka.” (Riwayat Muslim)
• “Allah taala telah berfirman ‘Seorang hamba telah berdosa. Lalu dia berkata ‘Ya Allah ampunkanlah dosaku’. Lalu Allah taala berfirman, ‘HambaKu telah berdosa tapi dia tahu bahawa dia mempunyai Tuhan yang mengampunkan dosa.’ Kemudian dia melakukan dosa lagi, lalu berkata ‘Ya Tuhanku ampunkanlah dosaku’. Lalu Allah taala berfirman, ‘HambaKu telah berdosa tapi dia tahu bahawa dia mempunyai Tuhan yang mengampunkan dosa.’ Kemudian dia mengulangi melakukan dosa, lalu berkata, ‘Ya Allah ampunkanlah dosaku’. Lalu Allah taala berfirman ‘HambaKu telah berdosa tapi dia tahu bahawa dia mempunyai Tuhan yang mengampunkan dosa. Telah aku ampuni hambaku, maka lakukanlah apa yang dia kehendaki.” (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
• Allah taala mengampunkan dosa seorang yang mati walau setelah membunuh 100 nyawa kerana dia sedang dalam perjalanan untuk bertaubat. (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
• Allah taala mengampunkan dosa seorang pelacur kerana memberi seekor anjing yang kehausan (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
Fahaman seperti ini berbeza sekali dengan fahaman yang condong menganjurkan Muslim untuk berasa takut terhadap Allah taala dan yang berkaitan dengannya seperti takut pada azab nerakanya apabila berbicara tentang Tuhan dan ajaran agama.
Takwa Bukan Takut
Lihat sahaja pada tafsiran takwa yang amat popular di kalangan ramai, iaitu takut kepada Allah taala.
Sedangkan hakikat makna takwa dalam bahasa Arab amat jauh kaitannya dengan makna takut.
Analisa dari sudut bahasa memberitahu bahawa perkataan takwa dalam bahasa Arab di ambil dari perkataan “waqa” yang antara maknanya ialah memelihara, melindungi dan membaiki.
Apakah yang perlu dipelihara, lindung dan baiki?
Dari apa?
Bagaimana melakukannya?
Jawapannya ialah perlindungan bagi diri kita sendiri dari kegagalan untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan syurga Allah taala di akhirat kelak dengan cara melaksanakan segala perintah Allah taala dan menjauhi laranganNya.
Makna takwa sebenarnya mempunyai kaitan yang amat sedikit sekali dengan rasa takut.
Dahulukan Motivasi Positif
Menunaikan tuntutan takwa kerana sayangkan Tuhan adalah motivasi positif, sedangkan melakukannya keranan takut azabNya adalah motivasi negatif.
Walaupun kedua-duanya mungkin menatijah tingkah laku yang sama, tetapi ia mempunyai kesan psikologi yang berbeza pada manusia.
Ia mencorak sikap kita dalam berhubungan dengan Allah taala.
Ia juga mempengaruhi bagaimana kita mengajak manusia untuk mentaati Allah taala.
Contoh yang mudah untuk memahami perkara ini ialah dalam soal pendidikan anak-anak.
Amat berbeza jika kita mendorong mereka untuk rajin belajar atas dasar suka pada ilmu dan cinta ibubapanya berbanding jika motivasi itu atas dasar takut pada hukuman dan gerun pada orang tua.
Jika dalam soal keduniaan kita mengajar anak-anak kita untuk melakukannya atas dasar suka dan positif, mengapakah dalam soal ibadah dan hubungan dengan Tuhan ia dilakukan atas dasar takut dan negatif?
Keutamaan kasih sayang di sisi Allah taala, berbanding sifat kerasNya, dapat juga dilihat bagaimana Allah taala mengajar para anbiya’ agar mendahulukan sifat basyir (pembawa berita gembira i.e. kasih sayang, syurga dan pahala) dahulu, sebelum nazir (pemberi amaran i.e. hukuman, kemurkaan, neraka dan dosa), sebagaimana yang boleh didapat banyak dalam Al-Quran.
Fungsi Takut & Azab
Apa yang dihuraikan di atas bukan sama sekali menafikan kewujudan konsep takut pada Allah taala dalam Islam.
Ia sememangnya ada dan boleh dijumpai dalam Al-Quran.
Ia jua dibincangkan olehpara ulama dalam tradisi ilmu Islam.
Dua perkataan dalam Al-Quran yang sering dikaitkan dengan dan memberi makna takut ialah khauf (3:175, 5:94, 16:50, dan khasyah (13:21, 36:11, 50:33, 98:9), bukan taqwa.
Al-Quran juga banyak menyebut tentang azab, dosa dan neraka yang mana ia menjadi sebahagian dari akidah kita.
Ayat Al-Hijr:49-50 yang dinyatakan di atas adalah satu contoh yang jelas.
Namun kewujudan perkara-perkara ini tidak sama sekali menjejas huraian di atas tentang mengenali Allah taala iaitu Dia lebih suka dikenali dan memperkenalkan diriNya sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Azab, dosa dan neraka dikemukakan sebagai satu pendekatan yang seimbang agar manusia tidak mengambil mudah pula akan sifat pengasih Tuhan hingga bersifat sambil lewa.
Ia ini juga adalah kerana Islam adalah agama yang seimbang (wasatiyah) yang sifatnya bukan hanya kasih sayang tapi juga adil.
Allah taala pula bukan hanya bersifat Maha Pengasih dan Penyayang tetapi Dia juga adalah Maha Adil.
Adil bermakna bukan hanya kebaikan yang perlu diberi perakuan dengan ganjaran yang wajar, tetapi kejahatan juga.
Terutama jika kejahatan itu dilakukan setelah diberi pelbagai peringatan untuk meninggalkannya dan peluang untuk membaikinya.
Melaksanakan keadilan dengan menghukum meraka yang bermaksiat adalah pilihan yang memang ada di tangan Allah taala, tapi terdapat banyak dalil-dalil syarak yang menunjukkan bahawa Dia lebih suka dan lebih mengutamakan sifat pengasih dan penyayangNya.
Pada apa jua kesempatan yang ada, Dia akan memaafkan hamba-hambaNya dan sangat mudah melakukannya sebagai manifestasi sifat pengasih dan penyayangNya.
Hadis-hadis yang dinyatakan berkaitan layananNya terhadap para pelaku maksiat jelas menunjukkan hakikat ini.
Namun yang lebih jelas lagi ialah hadis yang bermaksud, “Apabila Allah taala selesai mencipta alam ini, Dia menulis di atas arasyNya ‘Sesungguhnya rahmatKu sentiasa mendahului kemurkaanKu’.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Mengapakah Allah taala memilih rahmat, berbanding sifat atau nama-namaNya yang lain, untuk menghiasa arasyNya?
Tidak lain kerana Dia mendahulukannya dari yang lain, terutama dari murka dan segala yang berkaitan dengannya.
Kefahaman seperti ini juga bukan sesuatu yang asing di sisi para ulama Islam sejak zaman dahulu.
Mengajar kepada masyarakat tentang azab, dosa dan neraka adalah sebahagian dari agama, tapi menjadikannya sebagai dasar ubudiyah dan hubungan kita dengan Tuhan adalah sesuatu yang bermasalah.
Aplikasi Dalam Kehidupan
Kepentingan mengenali Allah taala sebagai Tuhan Yang Pengasih bukan hanya kerana keperluan untuk mempunyai ilmu yang betul terhadap Allah taala tetapi kerana ilmu sedemikian mempunyai tuntutan yang perlu ditunaikan dalam bentuk tingkah laku seperti bagaimana kita sampaikan Islam kepada manusia, bagaimana mengamalkan Islam di kalangan manusia dan bagaimana kita berurusan semasa manusia.
Oleh itu, yang sepatutnya ialah, setelah kita kenali Allah taala sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, hendaklah kita perkenalkan Dia juga sedemikian kepada manusia lain, bukan sebagai Tuhan yang bengis dan suka mengazab.
Apabila melakukan kewajiban kepada Tuhan pula, kita lakukannya dan ajak manusia melakukannya yang terutama atas dasar kasih padaNya dan kerana ingin meraih kasih sayangNya, bukan kerana takut akan azabnya lebih dahulu atau semata-mata.
Pada dasarnya pula, Islam disampaikan sebagai pesanan kasih lebih dahulu, bukan pesanan ancaman.
Sikap Allah taala yang mengutamakan sifat pengasih dan penyayang dalam berurusan dengan hamba-hambaNya menjadi contoh pula bagi kita dalam berurusan sesama manusia, iaitu berhubungan dengan cara lembut (bukan kasar/ganas), penuh ihsan (bukan keras) dan sentiasa bersedia memaafkan (bukan berdendam).
Dengan itu pula, imej kita baik sebagai Muslim / ibubapa / guru / pemimpin adalah seorang yang pengasih.
Kita dihormati kerana sifat pengasih, bukan kuasa yang kita ada.
Kita ditaati kerana kasih orang pada kita, bukan kerana gerun.
Akhir sekali, perlu dipertegaskan di sini bahawa apabila sesuatu diutamakan, ia tidak sama sekali bermaksud melupakan atau mengabaikan satu sudut yang lain.
Tidak seharusnya pula keinginan untuk memberi peringatan kepada manusia agar kembali ke jalan yang benar mengelabui hakikat keutamaan sesuatu yang Allah taala sendiri telah pilih bagi diriNya.
Iman kepada Allah adalah inti ajaran Islam.
Syariat Islam boleh berubah-ubah, tapi ajaran yang satu ini tidak berubah sejak dari nabi Adam hingga ke nabi Muhammad dan harus kekal sedemikian sehingga hari Kiamat.
Inti pada iman kepada Allah pula ialah mengenaliNya (makrifatullah) dengan betul.
Sebab itulah ulama berkata, dalam hal ini, “yang pertama dalam agama ialah kenal Allah”.
Manusia memang boleh mencapai iman pada Allah melalui akal fikirannya, jika digunakan dengan betul.
Namun, manusia tidak akan mampu kenal Allah dengan sempurna hanya dengan bergantung pada akalnya sahaja kerana akal manusia terbatas.
Atas sebab itulah, Allah taala tetap mengutus para nabi dan mewahyukan kitab-kitab suci bagi memandu manusia kepada iman yang tepat, iaitu mengenaliNya, walau pun Dia telah memberi akal kepada setiap manusia.
Oleh itu, cara terbaik untuk kenal Allah taala ialah melalui sumber dariNya sendiri kerana Dia lebih tahu tentang diriNya berbanding dari sumber lain atau akal manusia.
Dalam hal ini, sumbernya ialah Al-Quran, kitab yang diturunkan oleh Allah taala untuk memandu manusia hingga akhir zaman.
Bagaimanakah Allah taala memperkenalkan dirinya dalam Al-Quran?
Pengasih dan Penyayang Dahulu
Kita tidak perlu membaca Al-Quran keseluruhannya untuk mengenali Allah taala secara umum.
Bahkan kita tidak perlu membuka lembaran Al-Quran jauh-jauh untuk tujuan ini kerana Allah taala memperkenalkan Dia kepada kita di awal-awal Al-Quran lagi.
Ia terdapat di mukasurat pertama Al-Quran.
Lebih tepat lagi ialah di ayat pertama Al-Quran iaitu, “bismillahir rahmanir rahim (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)” dari surah Al-Fatihah yang dibaca pada setiap rakaat solat dan sepatutnya di hafal oleh setiap Muslim.
Hakikat bahawa ayat pertama dari Al-Quran menyebut nama Allah taala adalah dalil kepentingan iman padaNya mendahului segala yang lain dari ajaran Islam.
Selain itu ayat ini juga cuba memperkenalkan Allah taala secara umum kepada manusia sekalian dan pembaca Al-Quran khususnya.
Bagaimanakah Allah taala memperkenalkan dirinya dalam ayat ini?
Bagaimanakah sebenarnya Allah taala mahu dikenali oleh hamba-hambaNya?
Ayat ini memperkenalkan Allah taala sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Ertinya, Allah taala lebih suka dikenali oleh hamba-hambaNya sedemikian.
Hakikat ini menjadi lebih terserlah apabila kita fikirkan bahawa Allah taala mempunyai 99 nama, yang antaranya mensifatkan Allah taala sebagai Al-Muntaqim (Maha Pembalas), Al-Jabbar (Maha Perkasa), Al-Muzil (Maha Menghinakan), Al-Mutakabbir (Maha Gemilang) dan Al-Qahhar (Maha Gagah) – sifat-sifat yang lebih menonjolkan kegagahan, kuasa dan kebesarannya – tapi Dia utamakan sifat Maha Pengasih dan Penyayang dari yang lain-lain.
Ia juga bermakna bahawa Allah taala lebih suka berhubungan dengan hambaNya atas dasar cinta dan kasih sayang, bukan atas dasar takut dan ancaman.
Allah taala lebih mahu Dia disukai dan disayangi, bukan digeruni atau ditakuti.
Kefahaman seperti dapat disokong oleh pelbagai ayat-ayat Al-Quran yang lain.
Antaranya ialah firman Allah taala, “Kabarkanlah kepada hamba-hambaKu, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa sesungguhnya azabKu adalah azab yang sangat pedih.” (Al-Hijr:49-50)
Dalam ayat ini Allah taala menyuruh nabi s.a.w memberitahu umatNya bahawa Dia bersifat Maha Pengampun dan Pengasih sebelum berbicara tentang azabnya.
Renungkan juga bahawa Allah taala tidak mensifat dirinya sebagai pengazab, berbanding dengan sifat sebelumnya, tapi hanya memberitahu bahawa Dia mempunyai azab yang pedih.
Lihat juga firman Allah taala, “….SiksaKu akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmatKu meliputi segala sesuatu… ” (Al-A`araf:156)
Walaupun ayat ini Allah taala mendahulu pernyataan tentang azabnya tapi ia tetap menonjolkan rahmat (kasih)Nya melebihi dari azab.
Apabila Allah taala berbicara tentang azab, Dia nyatakan bahawa azab hanya menimpa sesiapa yang Dia kehendaki sahaja, sedangkan rahmatNya pula dikurniakan kepada segala sesuatu.
Dalam ayat lain, Allah taala mewajibkan atas diriNya sendiri rahmat (kasih) (Al-An`am:12 dan 54) dan bukan azab, dendam, penghukum atau yang seumpamanya.
Imam Al-Tabari dan Al-Qurtubi, ketika menghuraikan ayat ini, menyebutkan salah satu tanda rahmat Allah taala kepada hamba-hambaNya ialah tidak bersegera dalam menghukum atau menurunkan azab ke atas mereka.
Sebaliknya, Allah taala sentiasa menangguhkannya bagi memberi peluang yang luas untuk kembali ke pangkuan jalan.
Sebahagian ilmuwan Islam pula berpendapat bahawa ayat dari surah Al-An`am ini menetapkan bahawa kasih bukan hanya perbuatan Tuhan tapi ia merupakan inti pati hakikat ketuhanan itu sendiri.
Ayat ini menjadikan kasih itu sesuatu yang istimewa berbanding sifat dan perbuatan Tuhan yang lain.
Terdapat pelbagai hadis yang boleh dijadikan sokongan.
Antaranya ialah:
• “Allah taala telah berfirman ‘Sesungguhnya kasih sayangKu mengatasi kemarahanKu.” (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
• “Akan datang di hari Kiamat nanti, manusia-manusia dengan dosa seperti gunung-gunung. Allah mengampunkannya bagi mereka.” (Riwayat Muslim)
• “Allah taala telah berfirman ‘Seorang hamba telah berdosa. Lalu dia berkata ‘Ya Allah ampunkanlah dosaku’. Lalu Allah taala berfirman, ‘HambaKu telah berdosa tapi dia tahu bahawa dia mempunyai Tuhan yang mengampunkan dosa.’ Kemudian dia melakukan dosa lagi, lalu berkata ‘Ya Tuhanku ampunkanlah dosaku’. Lalu Allah taala berfirman, ‘HambaKu telah berdosa tapi dia tahu bahawa dia mempunyai Tuhan yang mengampunkan dosa.’ Kemudian dia mengulangi melakukan dosa, lalu berkata, ‘Ya Allah ampunkanlah dosaku’. Lalu Allah taala berfirman ‘HambaKu telah berdosa tapi dia tahu bahawa dia mempunyai Tuhan yang mengampunkan dosa. Telah aku ampuni hambaku, maka lakukanlah apa yang dia kehendaki.” (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
• Allah taala mengampunkan dosa seorang yang mati walau setelah membunuh 100 nyawa kerana dia sedang dalam perjalanan untuk bertaubat. (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
• Allah taala mengampunkan dosa seorang pelacur kerana memberi seekor anjing yang kehausan (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
Fahaman seperti ini berbeza sekali dengan fahaman yang condong menganjurkan Muslim untuk berasa takut terhadap Allah taala dan yang berkaitan dengannya seperti takut pada azab nerakanya apabila berbicara tentang Tuhan dan ajaran agama.
Takwa Bukan Takut
Lihat sahaja pada tafsiran takwa yang amat popular di kalangan ramai, iaitu takut kepada Allah taala.
Sedangkan hakikat makna takwa dalam bahasa Arab amat jauh kaitannya dengan makna takut.
Analisa dari sudut bahasa memberitahu bahawa perkataan takwa dalam bahasa Arab di ambil dari perkataan “waqa” yang antara maknanya ialah memelihara, melindungi dan membaiki.
Apakah yang perlu dipelihara, lindung dan baiki?
Dari apa?
Bagaimana melakukannya?
Jawapannya ialah perlindungan bagi diri kita sendiri dari kegagalan untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan syurga Allah taala di akhirat kelak dengan cara melaksanakan segala perintah Allah taala dan menjauhi laranganNya.
Makna takwa sebenarnya mempunyai kaitan yang amat sedikit sekali dengan rasa takut.
Dahulukan Motivasi Positif
Menunaikan tuntutan takwa kerana sayangkan Tuhan adalah motivasi positif, sedangkan melakukannya keranan takut azabNya adalah motivasi negatif.
Walaupun kedua-duanya mungkin menatijah tingkah laku yang sama, tetapi ia mempunyai kesan psikologi yang berbeza pada manusia.
Ia mencorak sikap kita dalam berhubungan dengan Allah taala.
Ia juga mempengaruhi bagaimana kita mengajak manusia untuk mentaati Allah taala.
Contoh yang mudah untuk memahami perkara ini ialah dalam soal pendidikan anak-anak.
Amat berbeza jika kita mendorong mereka untuk rajin belajar atas dasar suka pada ilmu dan cinta ibubapanya berbanding jika motivasi itu atas dasar takut pada hukuman dan gerun pada orang tua.
Jika dalam soal keduniaan kita mengajar anak-anak kita untuk melakukannya atas dasar suka dan positif, mengapakah dalam soal ibadah dan hubungan dengan Tuhan ia dilakukan atas dasar takut dan negatif?
Keutamaan kasih sayang di sisi Allah taala, berbanding sifat kerasNya, dapat juga dilihat bagaimana Allah taala mengajar para anbiya’ agar mendahulukan sifat basyir (pembawa berita gembira i.e. kasih sayang, syurga dan pahala) dahulu, sebelum nazir (pemberi amaran i.e. hukuman, kemurkaan, neraka dan dosa), sebagaimana yang boleh didapat banyak dalam Al-Quran.
Fungsi Takut & Azab
Apa yang dihuraikan di atas bukan sama sekali menafikan kewujudan konsep takut pada Allah taala dalam Islam.
Ia sememangnya ada dan boleh dijumpai dalam Al-Quran.
Ia jua dibincangkan olehpara ulama dalam tradisi ilmu Islam.
Dua perkataan dalam Al-Quran yang sering dikaitkan dengan dan memberi makna takut ialah khauf (3:175, 5:94, 16:50, dan khasyah (13:21, 36:11, 50:33, 98:9), bukan taqwa.
Al-Quran juga banyak menyebut tentang azab, dosa dan neraka yang mana ia menjadi sebahagian dari akidah kita.
Ayat Al-Hijr:49-50 yang dinyatakan di atas adalah satu contoh yang jelas.
Namun kewujudan perkara-perkara ini tidak sama sekali menjejas huraian di atas tentang mengenali Allah taala iaitu Dia lebih suka dikenali dan memperkenalkan diriNya sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Azab, dosa dan neraka dikemukakan sebagai satu pendekatan yang seimbang agar manusia tidak mengambil mudah pula akan sifat pengasih Tuhan hingga bersifat sambil lewa.
Ia ini juga adalah kerana Islam adalah agama yang seimbang (wasatiyah) yang sifatnya bukan hanya kasih sayang tapi juga adil.
Allah taala pula bukan hanya bersifat Maha Pengasih dan Penyayang tetapi Dia juga adalah Maha Adil.
Adil bermakna bukan hanya kebaikan yang perlu diberi perakuan dengan ganjaran yang wajar, tetapi kejahatan juga.
Terutama jika kejahatan itu dilakukan setelah diberi pelbagai peringatan untuk meninggalkannya dan peluang untuk membaikinya.
Melaksanakan keadilan dengan menghukum meraka yang bermaksiat adalah pilihan yang memang ada di tangan Allah taala, tapi terdapat banyak dalil-dalil syarak yang menunjukkan bahawa Dia lebih suka dan lebih mengutamakan sifat pengasih dan penyayangNya.
Pada apa jua kesempatan yang ada, Dia akan memaafkan hamba-hambaNya dan sangat mudah melakukannya sebagai manifestasi sifat pengasih dan penyayangNya.
Hadis-hadis yang dinyatakan berkaitan layananNya terhadap para pelaku maksiat jelas menunjukkan hakikat ini.
Namun yang lebih jelas lagi ialah hadis yang bermaksud, “Apabila Allah taala selesai mencipta alam ini, Dia menulis di atas arasyNya ‘Sesungguhnya rahmatKu sentiasa mendahului kemurkaanKu’.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Mengapakah Allah taala memilih rahmat, berbanding sifat atau nama-namaNya yang lain, untuk menghiasa arasyNya?
Tidak lain kerana Dia mendahulukannya dari yang lain, terutama dari murka dan segala yang berkaitan dengannya.
Kefahaman seperti ini juga bukan sesuatu yang asing di sisi para ulama Islam sejak zaman dahulu.
Mengajar kepada masyarakat tentang azab, dosa dan neraka adalah sebahagian dari agama, tapi menjadikannya sebagai dasar ubudiyah dan hubungan kita dengan Tuhan adalah sesuatu yang bermasalah.
Aplikasi Dalam Kehidupan
Kepentingan mengenali Allah taala sebagai Tuhan Yang Pengasih bukan hanya kerana keperluan untuk mempunyai ilmu yang betul terhadap Allah taala tetapi kerana ilmu sedemikian mempunyai tuntutan yang perlu ditunaikan dalam bentuk tingkah laku seperti bagaimana kita sampaikan Islam kepada manusia, bagaimana mengamalkan Islam di kalangan manusia dan bagaimana kita berurusan semasa manusia.
Oleh itu, yang sepatutnya ialah, setelah kita kenali Allah taala sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, hendaklah kita perkenalkan Dia juga sedemikian kepada manusia lain, bukan sebagai Tuhan yang bengis dan suka mengazab.
Apabila melakukan kewajiban kepada Tuhan pula, kita lakukannya dan ajak manusia melakukannya yang terutama atas dasar kasih padaNya dan kerana ingin meraih kasih sayangNya, bukan kerana takut akan azabnya lebih dahulu atau semata-mata.
Pada dasarnya pula, Islam disampaikan sebagai pesanan kasih lebih dahulu, bukan pesanan ancaman.
Sikap Allah taala yang mengutamakan sifat pengasih dan penyayang dalam berurusan dengan hamba-hambaNya menjadi contoh pula bagi kita dalam berurusan sesama manusia, iaitu berhubungan dengan cara lembut (bukan kasar/ganas), penuh ihsan (bukan keras) dan sentiasa bersedia memaafkan (bukan berdendam).
Dengan itu pula, imej kita baik sebagai Muslim / ibubapa / guru / pemimpin adalah seorang yang pengasih.
Kita dihormati kerana sifat pengasih, bukan kuasa yang kita ada.
Kita ditaati kerana kasih orang pada kita, bukan kerana gerun.
Akhir sekali, perlu dipertegaskan di sini bahawa apabila sesuatu diutamakan, ia tidak sama sekali bermaksud melupakan atau mengabaikan satu sudut yang lain.
Tidak seharusnya pula keinginan untuk memberi peringatan kepada manusia agar kembali ke jalan yang benar mengelabui hakikat keutamaan sesuatu yang Allah taala sendiri telah pilih bagi diriNya.
Allah tidak akan berpaling dari hamba-Nya
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna karena dilengkapi akal. Dengan akal diharapkan hamba dapat memikirkan tentang diri hamba sendiri serta seluruh alam yang diciptakan-Nya. Karena sesungguhnya jagat raya ini merupakan pancaran Nur dan Rahmat Allah.
Hanya karena kesalahpahaman cara memandang dan menilai, sehingga kadang-kadang mereka terhalangi dari melihat kahadiran-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Kayfa takfuruuna biallaahi wakuntum amwaatan fa-ahyaakum tsumma yumiitukum tsumma yuhyiikum tsumma ilayhi turja'uuna
Artinya: "Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?".(QS. Al-Baqarah [2]:28).
Pada dasarnya, setiap yang diturunkan Allah kepada manusia itu berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Ada 2 hal yang perlu hamba pahami:
(1). Sesuatu yang sesuai dengan kehendak nafsu atau tabiat, atau yang disebut dengan pemberian atau karunia. Dari pemberian ini akan tercermin sifat-sifat Allah Yang Maha Pengasih, Penyayang, Maha Pemurah dan Maha Adil kepada hamba-Nya.
(2). Sesuatu yang bertentangan dengan kehendak nafsu atau tabiat, atau disebut juga dengan penolakan. Penolakan ini akan tercermin sifat-sifat Allah Yang Maha Perkasa, Maha Agung dan Maha berdiri sendiri.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa ketika Allah memberi Rahmat, maka secara tidak langsung bertujuan agar hamba memahami;'Sesungguhnya Allah itu Maha Berbelas-Kasih, Maha Penyayang dan Maha Bijaksana. Itulah sifat-sifat yang dapat hamba temukan dari alam ini...
Sebaliknya, jika Allah 'menolak' permohonan hamba bukan berarti DIA berpaling. Allah tak akan pernah berpaling dari hamba-Nya. Tetapi dari penolakan-NYA itu diharapkan agar hamba dapat memahami bahwa,'Sesungguhnya DIA Maha Kuasa, Maha Berkehendak, dan Maha Berdiri sendiri. Apa yang diperbuat-NYA bebas atas Kehandak-NYA, tidak diintervensi oleh siapapun...
Subhanallaah...., Masya Allah Laa Quwwata Illa billahi...Allahu Akbar!.
Hanya karena kesalahpahaman cara memandang dan menilai, sehingga kadang-kadang mereka terhalangi dari melihat kahadiran-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Kayfa takfuruuna biallaahi wakuntum amwaatan fa-ahyaakum tsumma yumiitukum tsumma yuhyiikum tsumma ilayhi turja'uuna
Artinya: "Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?".(QS. Al-Baqarah [2]:28).
Pada dasarnya, setiap yang diturunkan Allah kepada manusia itu berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Ada 2 hal yang perlu hamba pahami:
(1). Sesuatu yang sesuai dengan kehendak nafsu atau tabiat, atau yang disebut dengan pemberian atau karunia. Dari pemberian ini akan tercermin sifat-sifat Allah Yang Maha Pengasih, Penyayang, Maha Pemurah dan Maha Adil kepada hamba-Nya.
(2). Sesuatu yang bertentangan dengan kehendak nafsu atau tabiat, atau disebut juga dengan penolakan. Penolakan ini akan tercermin sifat-sifat Allah Yang Maha Perkasa, Maha Agung dan Maha berdiri sendiri.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa ketika Allah memberi Rahmat, maka secara tidak langsung bertujuan agar hamba memahami;'Sesungguhnya Allah itu Maha Berbelas-Kasih, Maha Penyayang dan Maha Bijaksana. Itulah sifat-sifat yang dapat hamba temukan dari alam ini...
Sebaliknya, jika Allah 'menolak' permohonan hamba bukan berarti DIA berpaling. Allah tak akan pernah berpaling dari hamba-Nya. Tetapi dari penolakan-NYA itu diharapkan agar hamba dapat memahami bahwa,'Sesungguhnya DIA Maha Kuasa, Maha Berkehendak, dan Maha Berdiri sendiri. Apa yang diperbuat-NYA bebas atas Kehandak-NYA, tidak diintervensi oleh siapapun...
Subhanallaah...., Masya Allah Laa Quwwata Illa billahi...Allahu Akbar!.
Saturday, 15 July 2017
Ar-Rahman Wa Ar-Rahim
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Jika anda sependapat dengan mereka yang tidak memasukkan lafal Allah dalam Asmaul AlHusna, maka Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah nama pertama dan kedua dari nama-nama-Nya yang amat baik itu.
Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama Allah yang amat dominan, karena kedua nama inilah yang ditempatkan menyusul penyebutan nama Allah. Ini pula agaknya, yang menjadi sebab sehingga Nabi Saw melukiskan setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanir Rahim adalah buntung, hilang berkatnya. Basmalah yang diperintahkan itu mengandung dalam kalimatnya kedua nama tersebut, dan dengan susunan penyebutan sifat Allah seperti dikemukakan di atas.
Di dalam Al Qur’an kata Ar-Rahman terulang sebanyak 57 kali, sedangkan Ar-Rahim sebanyak 95 kali.
Banyak ulama berpendapat bahwa kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata yang sama, yakni rahmat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kata Ar-Rahman tidak berakar kata, dan karena itu pula - lanjut mereka-, orang-orang musyrik tidak mengenal siapa Ar-Rahman. Ini terbukti dengan membaca Firman-Nya, “ Apabila diperintahkan kepada mereka sujudlah kepada Ar-Rahman, mereka berkata/bertanya: Siapakah Ar-Rahman itu? Apakah kami bersujud kepada sesuatu yang engkau perintahkan kepada kami? Perintah ini menambah mereka enggan/menjauhkan diri dari keimanan” (Q.s. Al-Furqan 25:60).
Demikian juga ketika terjadi Perjanjian Alhudaibiyah, Nabi Saw memerintahkan menulis Basmalah, tetapi pemimpin delegasi musyrik Mekkah – Suhail bin ‘Amer – menolak kalimat tersebut dengan alasan, “Kami tidak mengetahui Bismillahirrahmanirrahim, tetapi tulislah Bismika Allahuma (Dengan nama-Mu Ya Allah)”.
Demikian juga ketika orang-orang musyrik Mekkah mendengar kaum muslimin mengucapkan Basmalah – dimana terdapat kata Ar-Rahman, mereka berkata, “Kami tidak mengenal Ar-Rahman kecuali Musalimah”, yakni seorang yang mengaku nabi pada masa Rasul Saw dan menamakan dirinya Ar-Rahman”.
Alqur’an melukiskan sikap kaum musyrik dan penjelasan Allah tentang Ar-Rahman bahwa, “Demikianlah kami telah mengutus engkau kepada suatu ummat yang telah mendahului mereka ummat-ummat (lainnya) supaya engkau membacakan kepada mereka yang Kami wahyukan kepadamu (Alqur’an) padahal mereka ingkar kepada Ar-Rahman. Katakanlah ‘Dia Tuhanku, tidak ada Tuhan kecuali Dia, hanya kepada-Nya aku berserah diri dan hanya kepada-Nya tempat kembali” (Q.s. Ar-Ra’ ed 13:30).
Itulah sebagian alasan mereka yang berpendapat bahwa Ar-Rahman tidak memiliki akar kata. Sementara ulama penganut paham ini melanjutkan bahwa kata Ar-Rahman, pada hakekatnya terambil dari bahasa Ibrani dan karena itu kata tersebut dalam Basmalah dan dalam surah Al-Fatihah disusul dengan kata Ar-Rahim, untuk memperjelas maknanya.
Banyak ulama yang berperndapat bahwa baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata “rahmat”, dengan alasan bahwa “timbangan” kata tersebut dikenal dalam bahasa Arab. Rahman setimbang dengan fa’lan dan Rahim dengan fa’il. Timbangan “fa’lan” biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan atau kesementaraan. Sedangkan timbangan “fa’il” menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan. Itu salah satu sebab, sehingga tidak ada bentuk jamak dari kara rahman, karena kesempurnaannya itu. Dan tidak ada juga yang wajar dinamai Rahman kecuali Allah SWT. berbeda dengan kata Rahim, yang dapat dijamak dengan Ruhama, sebagaimana ia dapat menjadi sifat Allah dan juga sifat makhluk. Dalam Alqurán kata “rahim” digunakan unutk menunjuk sifat Rasul Muhammad Saw yang menaruh belas kasih yang amat dalam terhadap ummatnya, sebagaimana bunyi firman Allah:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. (Q.s. At-Taubah 9:128).
Allah Swt dinamai juga dengan “Ärhamurrahimin”, Yang paling Pengasih di antara seluruh yang Rahim/Pengasih, bahkan oleh Alqurán Dia disifati pula sebagai “Khairur Rahimin”, Sebaik-baik Pengasih (Q.s. Al-Mukminun 2:118).
Ar-Rahman, - seperti dikemukakan di atas- tidak dapat disandang kecuali oleh Allah Swt. karena itu pula ditemukan dalam ayat Alqur’an yang mengajak manusia menyembah-Nya dengan menggunakan kata Ar-Rahman – sebagai ganti kata Allah atau menyebut kedua kata tersebut sejajar dan bersamaan. Perhatikan firman-firman-Nya berikut:
“Katakanlah; serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaul husna nama-nama yang terbaik”. (Q.s. Al-Isra’17:110).
“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu. Ädakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah)?” (Q.s. Az-Zukhruf 43:45).
Kita semua mengetahui bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah, dan bahwa lafaz Allah hanya khusus tertuju kepada Tuhan Yang berhak disembah dan Maha Esa itu. Tetapi kedua ayat diatas menggunakan kata Ar-Rahman untuk yang berhak disembah mempersamakannya dengan lafaz Allah. Semua itu menunjukkan bahwa kata Ar-Rahman hanya khusus digunakan untuk Tuhan Yang Maha Esa, tidak untuk selain-Nya.
Penulis cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman:
“Aku adalah Ar-Rahman, Aku menciptakan rahim, kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya). (H.r. Abudaud dan Attirmizi melalui Abdurrahman bin ‘Áuf).
Menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’ dan Mim, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin diantara anggota-anggotanya.
Rahmat lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak dapat dinamai rahim. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak terlaksana karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa pedih – sebagaimana rahmat Allah – tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”. Adapun yang menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Demikianlah Rahmat Allah Swt.
Pemilik rahmat yang sempurna adalah yang mengkehendaki dan melimpahkan kebajikan bagi yang butuh serta memelihara mereka. Sedang Pemilik rahmat yang menyeluruh adalah yang mencurahkan rahmat kepada yang wajar maupun yang tidak wajar menerimanya.
Rahmat Allah bersifat sempurna karena setiap Dia menghendaki tercurahnya rahmat, seketika itu juga rahmat tercurah. Rahmat-Nyapun bersifat menyeluruh karena ia mencakup yang berhak maupun yang tidak berhak serta mencakup pula aneka macam rahmat yang tidak dapat dihitung atau dinilai.
Kata rahmat dapat dipahami sebagai sifat zat dan karena itu rahman dan rahim merupakan sifat zat Allah Swt. dan dapat juga dipahami dalam arti sesuatu yang dicurahkan. Bila demikian rahmat menjadi sifat perbuatan-Nya. Ketika Anda berdoa seperti yang diajarkan Alqurán surah Ali-Imran 3:8; “Wa Hab lana Min Ladunka rahmatan,” anugerahkanlah bagi kami dari sisi-Mu rahmat; maka kata rahmat di sini merupakan sesuatu yang dicurahkan Allah, bukan merupakan sifat Zat-Nya, karena sifat zat tidak dapat dianugerahkan.
Apakah sama makna Rahman dan Rahim? Ada yang mempersamakannya, namun pandangan ini tidak banyak didukung oleh ulama. Dua kata yang seakar, bila berbeda timbangan pasti mempunyai perbedaan makna dan bila salah satunya memiliki huruf berlebih maka biasanya kelebihan huruf menunjukkan kelebihan makna. “Ziyadatul mabna yadllu ‘ala ziyadatil ma’na”. demikian bunyi kaedah yang mendukung pandangan di atas. Jika demikian apa perbedaan antara Rahman dan Rahim? Banyak ragam jawaban terhadap pertanyaan ini.
Imam Ghazali dalam bukunya “Almaqshad All-A’la” setelah menjelaskan bahwa kata Rahman merupakan kata khusus yangmenunjuk kepada Allah dan kata Rahim bisa disandang oleh Allah dan selain-Nya. Maka berdasar pembedaan itu Hujjatul Islam ini berpendapat bahwa rahmat yang dikandung oleh kata Rahman seyogyanya merupakan rahmat yang khusus dan yang tidak dapat diberikan oleh makhluk, yakni yang berkaitan dengan kebahagiaan ukhrawi. Sehingga Ar-Rahman adalah Tuhan Yang Maha Kasih terhadap hamba-hamba-Nya melalui beberapa tahapan proses. Pertama dengan penciptaan, kedua dengan petunjuk hidayat meraih iman dan sebab-sebab kebahagiaan, ketiga dengan kebahagiaan ukhrawi yang dinikmati kelak, serta keempat adalah kenikmatan memandang wajah-Nya (di hari kemudian). Pendapat imam Ghazali di atas, tidak memuaskan, karena dengan demikian, makhluk-makhluk lain yang tidak dibebani taklif atau katakanlah tumbuh-tumbuhan dan binatang sama sekali tidak tersentuh oleh rahmat-Nya yang dikandung oleh kata Rahman. Bukankah makhluk-makhluk itu tidak akan meraih surga apalagi memandang wajah-Nya kelak?
Pendapat lain dikemukakan oleh mereka yang melakukan tinjauan kebahasaan. Seperti dikemukakan sebelum ini bahwa “timbangan fa’lan” biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan dan atau kesementaraan, sedang timbangan Fa’il menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan. Karena itu Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Rahman adalah rahmat Tuhan yang sempurna tapi sifatnya sementara dan yang dicurahkan-Nya kepada semua makhluk. Kata ini dalam pandangan Abduh adalah kata yang menunjuk sifat Fi’il/perbuatan Tuhan. Dia Rahman, berarti Dia mencurahkan rahmat yang sempurna tetapi bersifat sementara/tidak langgeng. Ini antara lain dapat berarti bahwa Allah mencurahkan rahmat yang sempurna dan menyeluruh, tetapi tidak langgeng terus menerus. Rahmat menyeluruh tersebut menyentuh semua manusia mukmin atau kafir- bahkan menyentuh seluruh makhluk di alam raya, tetapi karena ketidak lenggengan/ kesementaraannya, maka ia hanya berupa rahmat di dunia saja. Bukankah rahmat di dunia menyentuh semua makhluk, begitu juga rahmat yang diraih di dunia tidak bersifat abadi? Adapun kata Rahim yang patronnya menunjukkan kemantapan dan kesinambungan, maka ia menunjuk kepada sifat zat Allah atau menunjukkan kepada kesinambungan dan kemantapan nikmatnya. Kemantapan dan kesinambungan hanya dapat wujud di akhirat kelak. Di sisi lain rahmat ukhrawi hanya diraih oleh orang taat dan bertaqwa:
“Katakanlah; “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikelurkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”. Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.s. Al-A’raaf 7:32).
Karena itu rahmat yang dikandung oleh kata Rahim adalah rahmat ukhrawi yang akan diraih oleh yang taat dan bertaqwa kepada-Nya.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata Rahman menunjuk kepada Allah dari sudut pandang bahwa Dia mencurahkan rahmat secata faktual. Sedangkan rahmat yang disandang-Nya dan yang melekat pada diri-Nya menjadikan Dia berhak menyandang sifat Rahim, sehingga dengan gabungan kedua kata itu tergambarlah di dalam benak bahwa Allah Rahman (mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya) karena Dia Rahim; Dia adalah wujud/zat Yang memiliki sifat rahmat.
Memang sekali-sekali boleh jadi seorang yang bersifat kikir, mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang lain. Di sini bantuan yang diberikannya itu tidak mengubah kepribadiaannya yang kikir; bantuan yang diberikannya itu tidak bersumber dari sifat pribadinya yang sesungguhnya. Berbeda dengan seorang pemurah yang ketika mengulurkan bantuan. Dengan kata Ar-Rahman tergambar bahwa Allah mencurahkan rahmat-Nya dan dengan Ar-Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya.
Penyebutan Ar-Rahim setelah Ar-Rahman sebagaimana halnya dalam surah Al-Fatihah, bertujuan menjelaskan bahwa anugerah Allah apapun bentuknya sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu pamrih, tetapi semata-mata lahir dari sifat rahmat dan kasih sayang-Nya yang telah melekat pada diri-Nya.
Rahmat Allah tidak terhingga bahkan dinyatakan: “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu”(Q.s. Al-Araf 7:156); dan dalam sebuah hadist qudsi Allah berfirman, “Sesungguhnya rahmat-Ku mengatasi/mengalahkan amarah-Ku”. (H.R. Bukhari dan Muslim dai Abu Hurairah).
Ar-Rahman dan Ar-Rahim seperti dikemukakan di atas berakar dari kata rahim yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.
Apabila disebutkan kata rahim, maka yang terlintas di dalam benak adalah ibu yang memiliki anak dan pikiran ketika itu akan melayang kepada kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya. Tetapi, jangan diduga bahwa sifat rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu. Bukankah kita harus meyakini bahwa Allah adalah wujud yang tidak kita memiliki persamaan dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya dengan siapapun dalam kenyataan hidup atau dalam khayalan?
Rasulullah Saw memberikan suatu ilustrasi menyangkut besarnya rahmat Allah sebagai dituturkan oleh Abu hurairah:
Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah SWT menjadikan rahmat itu seratus bagian, disimpan disisi-Nya Sembilan puluh Sembilan dan diturunkan-Nya ke bumi ini satu bagian; yang satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk, (yang tercermin antara lain) pada seekor binatang yang mengangkat kakinya dari anaknya terdorong oleh rahmat kasih sayang, kuatir jangan sampai menyakitinya.(H.R. Muslim).
Kini kita bertanya, apakah buah yang dihasilkan oleh ucapan yang lahir dari lubuk hati?
Ketika seseorang membaca Ar-Rahman dan atau Ar-Rahim maka diharapkan jiwanya akan dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang dan saat itu rahmat dan kasih sayang akan memancar dalam bentuk perbuatan-perbuatan. Bukankah perbuatan merupakan cerminan dari gejolak jiwa?
Bukankah seseorang sedang dirundung kesedihan atau kesakitan, keindahan dapat dianggapnya keburukan? Tidakkah kalau ia sedang dimabuk asmara, segalanya terlihat indah?
Bukankah “Setiap wadah menumpahkan isinya”. Sebuah gelas berisi sirup, jangan duga akan ada yang tumpah selain sirup.
Di atas telah dikemukakan pendapat-pendapat menyayangkan perbedaan antara Rahman dan Rahim. Menurut Al-Ghazali buah yang dihasilkan oleh Rahman pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersanguktan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara lemah lembut – tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya apapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya – sebagai pengejewantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya”.
Sedang buah Ar-Rahim menurut Al-GHazali adalah, “Tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga, sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihnya itu dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali.
Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah Rahman (Pemberi Rahmat) karena Dia Rahim (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya. Selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh posisi penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam perjalannya lagi memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah buah yang diharapkan dari bacaan Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Jika anda sependapat dengan mereka yang tidak memasukkan lafal Allah dalam Asmaul AlHusna, maka Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah nama pertama dan kedua dari nama-nama-Nya yang amat baik itu.
Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama Allah yang amat dominan, karena kedua nama inilah yang ditempatkan menyusul penyebutan nama Allah. Ini pula agaknya, yang menjadi sebab sehingga Nabi Saw melukiskan setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanir Rahim adalah buntung, hilang berkatnya. Basmalah yang diperintahkan itu mengandung dalam kalimatnya kedua nama tersebut, dan dengan susunan penyebutan sifat Allah seperti dikemukakan di atas.
Di dalam Al Qur’an kata Ar-Rahman terulang sebanyak 57 kali, sedangkan Ar-Rahim sebanyak 95 kali.
Banyak ulama berpendapat bahwa kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata yang sama, yakni rahmat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kata Ar-Rahman tidak berakar kata, dan karena itu pula - lanjut mereka-, orang-orang musyrik tidak mengenal siapa Ar-Rahman. Ini terbukti dengan membaca Firman-Nya, “ Apabila diperintahkan kepada mereka sujudlah kepada Ar-Rahman, mereka berkata/bertanya: Siapakah Ar-Rahman itu? Apakah kami bersujud kepada sesuatu yang engkau perintahkan kepada kami? Perintah ini menambah mereka enggan/menjauhkan diri dari keimanan” (Q.s. Al-Furqan 25:60).
Demikian juga ketika terjadi Perjanjian Alhudaibiyah, Nabi Saw memerintahkan menulis Basmalah, tetapi pemimpin delegasi musyrik Mekkah – Suhail bin ‘Amer – menolak kalimat tersebut dengan alasan, “Kami tidak mengetahui Bismillahirrahmanirrahim, tetapi tulislah Bismika Allahuma (Dengan nama-Mu Ya Allah)”.
Demikian juga ketika orang-orang musyrik Mekkah mendengar kaum muslimin mengucapkan Basmalah – dimana terdapat kata Ar-Rahman, mereka berkata, “Kami tidak mengenal Ar-Rahman kecuali Musalimah”, yakni seorang yang mengaku nabi pada masa Rasul Saw dan menamakan dirinya Ar-Rahman”.
Alqur’an melukiskan sikap kaum musyrik dan penjelasan Allah tentang Ar-Rahman bahwa, “Demikianlah kami telah mengutus engkau kepada suatu ummat yang telah mendahului mereka ummat-ummat (lainnya) supaya engkau membacakan kepada mereka yang Kami wahyukan kepadamu (Alqur’an) padahal mereka ingkar kepada Ar-Rahman. Katakanlah ‘Dia Tuhanku, tidak ada Tuhan kecuali Dia, hanya kepada-Nya aku berserah diri dan hanya kepada-Nya tempat kembali” (Q.s. Ar-Ra’ ed 13:30).
Itulah sebagian alasan mereka yang berpendapat bahwa Ar-Rahman tidak memiliki akar kata. Sementara ulama penganut paham ini melanjutkan bahwa kata Ar-Rahman, pada hakekatnya terambil dari bahasa Ibrani dan karena itu kata tersebut dalam Basmalah dan dalam surah Al-Fatihah disusul dengan kata Ar-Rahim, untuk memperjelas maknanya.
Banyak ulama yang berperndapat bahwa baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata “rahmat”, dengan alasan bahwa “timbangan” kata tersebut dikenal dalam bahasa Arab. Rahman setimbang dengan fa’lan dan Rahim dengan fa’il. Timbangan “fa’lan” biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan atau kesementaraan. Sedangkan timbangan “fa’il” menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan. Itu salah satu sebab, sehingga tidak ada bentuk jamak dari kara rahman, karena kesempurnaannya itu. Dan tidak ada juga yang wajar dinamai Rahman kecuali Allah SWT. berbeda dengan kata Rahim, yang dapat dijamak dengan Ruhama, sebagaimana ia dapat menjadi sifat Allah dan juga sifat makhluk. Dalam Alqurán kata “rahim” digunakan unutk menunjuk sifat Rasul Muhammad Saw yang menaruh belas kasih yang amat dalam terhadap ummatnya, sebagaimana bunyi firman Allah:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. (Q.s. At-Taubah 9:128).
Allah Swt dinamai juga dengan “Ärhamurrahimin”, Yang paling Pengasih di antara seluruh yang Rahim/Pengasih, bahkan oleh Alqurán Dia disifati pula sebagai “Khairur Rahimin”, Sebaik-baik Pengasih (Q.s. Al-Mukminun 2:118).
Ar-Rahman, - seperti dikemukakan di atas- tidak dapat disandang kecuali oleh Allah Swt. karena itu pula ditemukan dalam ayat Alqur’an yang mengajak manusia menyembah-Nya dengan menggunakan kata Ar-Rahman – sebagai ganti kata Allah atau menyebut kedua kata tersebut sejajar dan bersamaan. Perhatikan firman-firman-Nya berikut:
“Katakanlah; serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaul husna nama-nama yang terbaik”. (Q.s. Al-Isra’17:110).
“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu. Ädakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah)?” (Q.s. Az-Zukhruf 43:45).
Kita semua mengetahui bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah, dan bahwa lafaz Allah hanya khusus tertuju kepada Tuhan Yang berhak disembah dan Maha Esa itu. Tetapi kedua ayat diatas menggunakan kata Ar-Rahman untuk yang berhak disembah mempersamakannya dengan lafaz Allah. Semua itu menunjukkan bahwa kata Ar-Rahman hanya khusus digunakan untuk Tuhan Yang Maha Esa, tidak untuk selain-Nya.
Penulis cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman:
“Aku adalah Ar-Rahman, Aku menciptakan rahim, kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya). (H.r. Abudaud dan Attirmizi melalui Abdurrahman bin ‘Áuf).
Menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’ dan Mim, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin diantara anggota-anggotanya.
Rahmat lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak dapat dinamai rahim. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak terlaksana karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa pedih – sebagaimana rahmat Allah – tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”. Adapun yang menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Demikianlah Rahmat Allah Swt.
Pemilik rahmat yang sempurna adalah yang mengkehendaki dan melimpahkan kebajikan bagi yang butuh serta memelihara mereka. Sedang Pemilik rahmat yang menyeluruh adalah yang mencurahkan rahmat kepada yang wajar maupun yang tidak wajar menerimanya.
Rahmat Allah bersifat sempurna karena setiap Dia menghendaki tercurahnya rahmat, seketika itu juga rahmat tercurah. Rahmat-Nyapun bersifat menyeluruh karena ia mencakup yang berhak maupun yang tidak berhak serta mencakup pula aneka macam rahmat yang tidak dapat dihitung atau dinilai.
Kata rahmat dapat dipahami sebagai sifat zat dan karena itu rahman dan rahim merupakan sifat zat Allah Swt. dan dapat juga dipahami dalam arti sesuatu yang dicurahkan. Bila demikian rahmat menjadi sifat perbuatan-Nya. Ketika Anda berdoa seperti yang diajarkan Alqurán surah Ali-Imran 3:8; “Wa Hab lana Min Ladunka rahmatan,” anugerahkanlah bagi kami dari sisi-Mu rahmat; maka kata rahmat di sini merupakan sesuatu yang dicurahkan Allah, bukan merupakan sifat Zat-Nya, karena sifat zat tidak dapat dianugerahkan.
Apakah sama makna Rahman dan Rahim? Ada yang mempersamakannya, namun pandangan ini tidak banyak didukung oleh ulama. Dua kata yang seakar, bila berbeda timbangan pasti mempunyai perbedaan makna dan bila salah satunya memiliki huruf berlebih maka biasanya kelebihan huruf menunjukkan kelebihan makna. “Ziyadatul mabna yadllu ‘ala ziyadatil ma’na”. demikian bunyi kaedah yang mendukung pandangan di atas. Jika demikian apa perbedaan antara Rahman dan Rahim? Banyak ragam jawaban terhadap pertanyaan ini.
Imam Ghazali dalam bukunya “Almaqshad All-A’la” setelah menjelaskan bahwa kata Rahman merupakan kata khusus yangmenunjuk kepada Allah dan kata Rahim bisa disandang oleh Allah dan selain-Nya. Maka berdasar pembedaan itu Hujjatul Islam ini berpendapat bahwa rahmat yang dikandung oleh kata Rahman seyogyanya merupakan rahmat yang khusus dan yang tidak dapat diberikan oleh makhluk, yakni yang berkaitan dengan kebahagiaan ukhrawi. Sehingga Ar-Rahman adalah Tuhan Yang Maha Kasih terhadap hamba-hamba-Nya melalui beberapa tahapan proses. Pertama dengan penciptaan, kedua dengan petunjuk hidayat meraih iman dan sebab-sebab kebahagiaan, ketiga dengan kebahagiaan ukhrawi yang dinikmati kelak, serta keempat adalah kenikmatan memandang wajah-Nya (di hari kemudian). Pendapat imam Ghazali di atas, tidak memuaskan, karena dengan demikian, makhluk-makhluk lain yang tidak dibebani taklif atau katakanlah tumbuh-tumbuhan dan binatang sama sekali tidak tersentuh oleh rahmat-Nya yang dikandung oleh kata Rahman. Bukankah makhluk-makhluk itu tidak akan meraih surga apalagi memandang wajah-Nya kelak?
Pendapat lain dikemukakan oleh mereka yang melakukan tinjauan kebahasaan. Seperti dikemukakan sebelum ini bahwa “timbangan fa’lan” biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan dan atau kesementaraan, sedang timbangan Fa’il menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan. Karena itu Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Rahman adalah rahmat Tuhan yang sempurna tapi sifatnya sementara dan yang dicurahkan-Nya kepada semua makhluk. Kata ini dalam pandangan Abduh adalah kata yang menunjuk sifat Fi’il/perbuatan Tuhan. Dia Rahman, berarti Dia mencurahkan rahmat yang sempurna tetapi bersifat sementara/tidak langgeng. Ini antara lain dapat berarti bahwa Allah mencurahkan rahmat yang sempurna dan menyeluruh, tetapi tidak langgeng terus menerus. Rahmat menyeluruh tersebut menyentuh semua manusia mukmin atau kafir- bahkan menyentuh seluruh makhluk di alam raya, tetapi karena ketidak lenggengan/ kesementaraannya, maka ia hanya berupa rahmat di dunia saja. Bukankah rahmat di dunia menyentuh semua makhluk, begitu juga rahmat yang diraih di dunia tidak bersifat abadi? Adapun kata Rahim yang patronnya menunjukkan kemantapan dan kesinambungan, maka ia menunjuk kepada sifat zat Allah atau menunjukkan kepada kesinambungan dan kemantapan nikmatnya. Kemantapan dan kesinambungan hanya dapat wujud di akhirat kelak. Di sisi lain rahmat ukhrawi hanya diraih oleh orang taat dan bertaqwa:
“Katakanlah; “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikelurkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”. Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.s. Al-A’raaf 7:32).
Karena itu rahmat yang dikandung oleh kata Rahim adalah rahmat ukhrawi yang akan diraih oleh yang taat dan bertaqwa kepada-Nya.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata Rahman menunjuk kepada Allah dari sudut pandang bahwa Dia mencurahkan rahmat secata faktual. Sedangkan rahmat yang disandang-Nya dan yang melekat pada diri-Nya menjadikan Dia berhak menyandang sifat Rahim, sehingga dengan gabungan kedua kata itu tergambarlah di dalam benak bahwa Allah Rahman (mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya) karena Dia Rahim; Dia adalah wujud/zat Yang memiliki sifat rahmat.
Memang sekali-sekali boleh jadi seorang yang bersifat kikir, mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang lain. Di sini bantuan yang diberikannya itu tidak mengubah kepribadiaannya yang kikir; bantuan yang diberikannya itu tidak bersumber dari sifat pribadinya yang sesungguhnya. Berbeda dengan seorang pemurah yang ketika mengulurkan bantuan. Dengan kata Ar-Rahman tergambar bahwa Allah mencurahkan rahmat-Nya dan dengan Ar-Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya.
Penyebutan Ar-Rahim setelah Ar-Rahman sebagaimana halnya dalam surah Al-Fatihah, bertujuan menjelaskan bahwa anugerah Allah apapun bentuknya sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu pamrih, tetapi semata-mata lahir dari sifat rahmat dan kasih sayang-Nya yang telah melekat pada diri-Nya.
Rahmat Allah tidak terhingga bahkan dinyatakan: “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu”(Q.s. Al-Araf 7:156); dan dalam sebuah hadist qudsi Allah berfirman, “Sesungguhnya rahmat-Ku mengatasi/mengalahkan amarah-Ku”. (H.R. Bukhari dan Muslim dai Abu Hurairah).
Ar-Rahman dan Ar-Rahim seperti dikemukakan di atas berakar dari kata rahim yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.
Apabila disebutkan kata rahim, maka yang terlintas di dalam benak adalah ibu yang memiliki anak dan pikiran ketika itu akan melayang kepada kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya. Tetapi, jangan diduga bahwa sifat rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu. Bukankah kita harus meyakini bahwa Allah adalah wujud yang tidak kita memiliki persamaan dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya dengan siapapun dalam kenyataan hidup atau dalam khayalan?
Rasulullah Saw memberikan suatu ilustrasi menyangkut besarnya rahmat Allah sebagai dituturkan oleh Abu hurairah:
Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah SWT menjadikan rahmat itu seratus bagian, disimpan disisi-Nya Sembilan puluh Sembilan dan diturunkan-Nya ke bumi ini satu bagian; yang satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk, (yang tercermin antara lain) pada seekor binatang yang mengangkat kakinya dari anaknya terdorong oleh rahmat kasih sayang, kuatir jangan sampai menyakitinya.(H.R. Muslim).
Kini kita bertanya, apakah buah yang dihasilkan oleh ucapan yang lahir dari lubuk hati?
Ketika seseorang membaca Ar-Rahman dan atau Ar-Rahim maka diharapkan jiwanya akan dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang dan saat itu rahmat dan kasih sayang akan memancar dalam bentuk perbuatan-perbuatan. Bukankah perbuatan merupakan cerminan dari gejolak jiwa?
Bukankah seseorang sedang dirundung kesedihan atau kesakitan, keindahan dapat dianggapnya keburukan? Tidakkah kalau ia sedang dimabuk asmara, segalanya terlihat indah?
Bukankah “Setiap wadah menumpahkan isinya”. Sebuah gelas berisi sirup, jangan duga akan ada yang tumpah selain sirup.
Di atas telah dikemukakan pendapat-pendapat menyayangkan perbedaan antara Rahman dan Rahim. Menurut Al-Ghazali buah yang dihasilkan oleh Rahman pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersanguktan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara lemah lembut – tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya apapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya – sebagai pengejewantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya”.
Sedang buah Ar-Rahim menurut Al-GHazali adalah, “Tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga, sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihnya itu dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali.
Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah Rahman (Pemberi Rahmat) karena Dia Rahim (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya. Selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh posisi penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam perjalannya lagi memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah buah yang diharapkan dari bacaan Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Allah Ar Rahman dan Ar Rahim,Yang Maha Pengasih Dan Maha Penyayang
Nama Ar Rahman dan Ar Rahim bisa jadi merupakan nama Allah yang paling kita kenal. Bayangkan saja dalam sehari semalam kita menyebutnya puluhan kali. Sebagai ayat pertama surat Al Fatihah yang dibaca dalam 17 rakaat sholat fardhu, dalam permulaan bacaan Al Quran, bahkan dalam setiap memulai kegiatan kita dianjurkan untuk mengucapkan asma Allah yang 2 ini.
Bismillahirrahmannirrahim, Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ar Rahman (Yang Maha Pengasih/The Beneficient) dan Ar Rahim (Yang Maha Penyayang/The Merciful) berasal dari akar kata “rahm” yang berarti rahmat atau rahim (kandungan). Menurut pakar bahasa Ibnu Faris, semua kata yang terdiri dari huruf Ra, Ha, dan Mim mengandung makna kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan.
Kalau dilihat dari pola kata, kata Rahman mengandung makna kesementaraan, sedangkan Rahim memberi kesan kelanggengan. Ini yang menyebabkan ada ulama yang memahami kata Ar Rahman sebagai rahmat Allah yang bersifat sementara di dunia, bersifat umum untuk seluruh makhluknya. Sementara Ar Rahim adalah rahmat Allah yang kekal di akhirat untuk makhluk yang mengabdi pada-Nya.
Dari Abu Hurairah: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Allah menjadikan rahmat itu 100 bagian. Disimpan di sisi-Nya 99 bagiandan diturunkan-Nya ke bumi ini 1 bagian. Yang satu bagian inilah yang dibagikan pada seluruh makhluk. Yang tercermin antara lain pada seekor binatang yang mengangkat kakinya dari anaknya terdorong oleh rahmat kasih sayang, kuatir jangan sampai menyakitinya.” – HR Muslim
Fakta Unik
Ada yang sangat unik dari perulangan kata Ar Rahman dan Ar Rahim dalam Al Quran. Kalimat Bismillahirrahmannirrahim terdiri dari 19 huruf. Bukan sebuah kebetulan kalau jumlah kata Allah, Ar Rahman dan Ar Rahim dalam Al Quran merupakan kelipatan 19. Kata Allah terulang sebanyak 2.698 kali (2.698 : 19 = 142), kata Ar Rahman dalam Al Quran terulang sebanyak 57 kali (57 : 19 = 3), sedangkan kata Ar Rahim terulang sebanyak 95 kali (95 : 19 = 5).
Hal ini disebut Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya ESQ sebagai Al Quran Inter Locking System untuk menjaga kesucian Al Quran.
Teladan Ahklak
Quraish Shihab menyampaikan bahwa ketika seseorang membaca Ar Rahman dan Ar Rahim, diharapkan jiwanya dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang yang akan tercermin melalui perbuatan-perbuatannya.
Al Ghazali menyebutkan bahwa Rahman dalam diri seseorang akan membuatnya merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah. Mengalihkan mereka yang lengah menuju Allah. Memberikan nasehat secara lemah lembut, tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang yang berdosa dengan pandangan kasih sayang, bukan dengan gangguan. Sedangkan sifat Rahim akan membuat seseorang suka menolong orang lain. Tidak membiarkan seseorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak membiarkan seorang fakir di sekelilingnya kecuali ia berusaha membantu dengan harta, kedudukan, doa serta menampakkan empati pada kesulitan orang lain.
Semoga dengan mengamalkan Asma Ar Rahman dan Ar Rahim, kita selalu dijaga dengan rahmat Allah untuk penuh kasih sayang, berempati, dan tidak mudah mengumbar amarah atau olok-olok yang menyakitkan hati orang lain.
Bismillahirrahmannirrahim, Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ar Rahman (Yang Maha Pengasih/The Beneficient) dan Ar Rahim (Yang Maha Penyayang/The Merciful) berasal dari akar kata “rahm” yang berarti rahmat atau rahim (kandungan). Menurut pakar bahasa Ibnu Faris, semua kata yang terdiri dari huruf Ra, Ha, dan Mim mengandung makna kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan.
Kalau dilihat dari pola kata, kata Rahman mengandung makna kesementaraan, sedangkan Rahim memberi kesan kelanggengan. Ini yang menyebabkan ada ulama yang memahami kata Ar Rahman sebagai rahmat Allah yang bersifat sementara di dunia, bersifat umum untuk seluruh makhluknya. Sementara Ar Rahim adalah rahmat Allah yang kekal di akhirat untuk makhluk yang mengabdi pada-Nya.
Dari Abu Hurairah: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Allah menjadikan rahmat itu 100 bagian. Disimpan di sisi-Nya 99 bagiandan diturunkan-Nya ke bumi ini 1 bagian. Yang satu bagian inilah yang dibagikan pada seluruh makhluk. Yang tercermin antara lain pada seekor binatang yang mengangkat kakinya dari anaknya terdorong oleh rahmat kasih sayang, kuatir jangan sampai menyakitinya.” – HR Muslim
Fakta Unik
Ada yang sangat unik dari perulangan kata Ar Rahman dan Ar Rahim dalam Al Quran. Kalimat Bismillahirrahmannirrahim terdiri dari 19 huruf. Bukan sebuah kebetulan kalau jumlah kata Allah, Ar Rahman dan Ar Rahim dalam Al Quran merupakan kelipatan 19. Kata Allah terulang sebanyak 2.698 kali (2.698 : 19 = 142), kata Ar Rahman dalam Al Quran terulang sebanyak 57 kali (57 : 19 = 3), sedangkan kata Ar Rahim terulang sebanyak 95 kali (95 : 19 = 5).
Hal ini disebut Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya ESQ sebagai Al Quran Inter Locking System untuk menjaga kesucian Al Quran.
Teladan Ahklak
Quraish Shihab menyampaikan bahwa ketika seseorang membaca Ar Rahman dan Ar Rahim, diharapkan jiwanya dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang yang akan tercermin melalui perbuatan-perbuatannya.
Al Ghazali menyebutkan bahwa Rahman dalam diri seseorang akan membuatnya merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah. Mengalihkan mereka yang lengah menuju Allah. Memberikan nasehat secara lemah lembut, tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang yang berdosa dengan pandangan kasih sayang, bukan dengan gangguan. Sedangkan sifat Rahim akan membuat seseorang suka menolong orang lain. Tidak membiarkan seseorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak membiarkan seorang fakir di sekelilingnya kecuali ia berusaha membantu dengan harta, kedudukan, doa serta menampakkan empati pada kesulitan orang lain.
Semoga dengan mengamalkan Asma Ar Rahman dan Ar Rahim, kita selalu dijaga dengan rahmat Allah untuk penuh kasih sayang, berempati, dan tidak mudah mengumbar amarah atau olok-olok yang menyakitkan hati orang lain.
Subscribe to:
Posts (Atom)